Kisah Pipo, si manusia pipa.
Saat itu tahun 1801. Pada sebuah lembah di Italia. Pada zaman dahulu
kala, begitu kisah ini dimulai, ada dua orang saudara sepupu yg tinggal
di tempat itu. Keduanya dikenal punya semangat dan ambisi yg kuat untuk
menggapai kemajuan. Yang pertama bernama Pipo, yang kedua bernama Embro.
Keduanya tinggal dalam rumah yg berdampingan di desa kecil dalam lembah
itu.
Keduanya sering berkhayal, suatu saat nanti mereka akan menjadi orang
yang paling kaya di desa itu. Mereka berdua sama-sama cemerlang dan
sangat tekun dalam bekerja. Yang mereka perlukan hanyalah kesempatan utk
mewujudkan impian itu.
Pada suatu hari, kesempatan itu muncul secara tiba-tiba. Kepala desa
disitu memutuskan mempekerjakan mereka utk membawa air dari sungai yg
terletak di pinggir desa, ke tempat penampungan air yg terletak di
tengah desa tsb. Intinya, pekerjaan itu dipercayakan kepada Pipo dan
Embro.
Singkat cerita, keduanya langsung membawa dua buah ember dan segera
menuju ke sungai. Sepanjang siang keduanya mengangkut air dengan ember.
Menjelang sore, tempat penampungan air sudah penuh sampai ke permukaan.
Kepala desa menggaji keduanya berdasar jumlah ember air yg masing-masing
mereka bawa. Begitu pekerjaan itu di lakukan setiap hari selama
beberapa waktu.
“Wow, apa yg kita cita-citakan selama ini akan terkabul!” teriak Embro
gembira. “Rasanya sulit dipercaya, kita mendapatkan penghasilan sebanyak
ini”.
Namun, Pipo tidak berhenti sampai disitu saja. Dia tidak yakin begitu
saja. Setiap pulang ke rumah, Pipo merasakan punggungnya nyeri semua.
Kedua telapak tangannya juga lecet-lecet. Begitu pagi tiba, perasaannya
jadi kecut karena harus pergi bekerja. Tidak ingin punggung dan
tangannya bermasalah lagi, Pipo justru berpikir keras mencari akal
bagaimana caranya mengangkut air dari sungai ke desa tanpa harus
terluka. Tanpa harus menanggung rasa nyeri di punggung. Tanpa melakukan
hal itu semur hidupnya!
“Embro, aku punya rencana,” kata Pablo keesokan harinya. “Daripada kita
mondar-mandir setiap hari membawa ember ke sungai dan hanya mendapatkan
beberapa sen per hari, mengapa tidak sekalian saja kita membangun pipa
saluran air dari sungai ke desa kita.”
Embro langsung menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba. “Saluran pipa
air! Ide dari mana itu!” kata Bruno tegas. “Kita kan sudah mempunyai
pekerjaan yg sangat bagus dan menghasilkan uang dengan mudah, Pipo. Aku
bisa membawa seratus ember sehari. Dengan upah satu sen per ember,
berarti penghasilan kita bisa satu dolar per hari! Aku akan menjadi
orang kaya. Dan ini berarti pada setiap akhir minggu aku bisa membeli
sepasang sepatu baru. Pada setiap akhir bulan, aku bisa membeli seekor
sapi. Setelah enam bulan kemudian, aku bisa membangun sebuah rumah
kecil. Kau melihat, tidak ada pekerjaan semenguntungkan mengangkut air
di desa ini. Lagipula, pada setiap akhir minggu kita mendapat libur.
Setiap akhir tahun kita juga mendapat cuti dua minggu dengan gaji penuh.
Kita akan hidup dengan sangat layak, dilihat dari sudut manapun. Jadi,
buang jauh-jauh idemu utk membangun saluran pipa airmu itu.”
Tapi Pipo tidak putus asa. Dia tetap bersikukuh pada idenya itu. Dengan
sabar dia menerangkan bagaimana proses membangun pipa salurannya itu
kepada sahabatnya. Embro tak beranjak sedikitpun dengan tawaran Pipo.
Akhirnya, Pipo memutuskan utk bekerja paruh waktu saja. Dia tetap
bekerja mengangkuti ember-ember itu. Sementara sisa waktunya, ditambah
libur akhir minggunya, dia pakai utk membangun saluran pipanya itu.
----
Sejak awal melakukan pekerjaannya ini, Pipo telah menyadari akan sangat
sulit membangun saluran pipa itu dari sungai ke desanya. Menggali di
tanah keras yg mengandung banyak batu jelas tak kalah menyakitkannya
dengan luka lecet dan punggung nyeri karena mengangkut air.
Pipo juga menyadari, karena upah yang dia terima sekarang berdasarkan
jumlah ember yang diangkutnya, maka penghasilannyapun secara otomatis
menurun. Dia juga sudah sangat paham bahwa dibutuhkan waktu satu atau
dua tahun sebelum saluran pipanya itu bisa berfungsi seperti yg dia
harapkan.
Namun, Pipo tak pernah kendur dengan keyakinannya. Dia tahu persis akan
impian dan cita-citanya. Sebab itu dia terus bekerja tanpa kenal lelah.
Kini, pemandangan kontras mulai tampak diantara kedua sahabat itu.
Sementara Embro asyik berbaring santai di hammock (tempat tidur gantung
berupa jaring) pada sore hari, pada akhir minggu, Pipo tampak terus
berlelehan keringat menggali saluran pipanya. Pada bulan-bulan awal,
Pipo memang tak menunjukkan hasil apapun dari usahanya. Tampak betul
bahwa pekerjaannya sangat berat. Bahkan jauh lebih berat dari pekerjaan
yg dilakukan Embro. Selain harus tetap bekerja pada akhir minggu, Pipo
juga bekerja di malam hari.
Tapi Pipo selalu mengingatkan pada diri sendiri bahwa cita-cita masa
depan itu sesungguhnya dibangun berdasarkan pada perjuangan yg dilakukan
hari ini. Dari hari ke hari dia terus menggali. Mili demi mili, senti
demi senti!
Pepatah yg selalu diingat Pipo adalah, sedikit demi sedikit, lama-lama
menjadi bukit. Dia selalu bersenandung setiap mengayunkan cangkulnya ke
tanah yg mengandung batu karang. Dari satu centimeter, menjadi dua centi
meter, sepuluh centi meter, satu meter, duapuluh meter, seratus meter,
dan seterusnya….
Dan, Pipo mulai melihat hasil kerja kerasnya… meski belum maksimal…
“Fokuslah pada imbalan yg akan kau peroleh dari pekerjaanmu”. Kata-kata
itu terus diingat Pipo, dan dia ulang-ulang setiap akan pergi tidur.
Fokus, fokus,fokus…. Imbalannya pasti jauh lebih besar….
----
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Dan pada suatu hari, Pipo menyadari saluran pipanya sudah tampak setengah jadi.
Setiap saat beristirahat, Pipo menyaksikan sahabatnya Embro yg terus
saja mengangkat ember-ember. Bahu Embro juga tampak semakin lama semakin
membungkuk. Dia tampak menyeringai kesakitan, meski sering berusaha dia
sembunyikan. Langkahnya juga semakin lamban, akibat kerja keras setiap
hari.
Akhirnya, terjadi juga kegemparan di desa itu. Saat bahagia Pipo pun
tiba. Saluran yg dia bangun sudah selesai. Hampir semua orang desa
berkumpul saat air mulai mengalir dari saluran pipanya menuju ke
penampungan air di desa. Sekarang, desa itu sudah bisa mendapat pasokan
air bersih secara tetap. Bahkan penduduk desa yg sebelumnya tinggal agak
jauh dari tempat itu kemudian pindah mencari tempat yg lebih dekat
dengan sumber air itu.
Setelah saluran pipa itu selesai, Pipo tidak perlu lagi membawa-bawa
ember. Airnya akan terus mengalir, baik dia sedang bekerja maupun tidak.
Air itu terus mengalir, baik dia sedang bekerja maupun tidak. Air itu
terus mengalir, baik saat dia makan, tidur ataupun bermain-main. Air itu
tetap mengalir di akhir minggu ketika dia menikmati banyak permainan.
Semakin banyak air yg mengalir ke desa, semakin banyak pula uang yg
mengalir ke kantung Pipo.
Pipo yg tadinya terkenal dengan julukan Pipo si Manusia Pipa, kini
menjadi lebih terkenal dengan sebutan Pipo si Manusia Ajaib. Tetapi,
Pipo paham sekali apa yg sesungguhnya dia capai bukanlah sebuah
keajaiban. Ini semua sebenarnya barulah langkah awal dari suatu
pencapaian cita-cita yg besar. Memang benar, nyatanya Pipo mempunyai
rencana yg jauh lebih besar daripada apa yg sudah dihasilkan di desanya.
----
Tahun demi tahun pun berlalu. Pipo sudah lama pensiun. Usaha saluran
pipa-nya yg mendunia terus-menerus mengalirkan ratusan juta dollar per
tahun ke rekening-rekening bank dia. Ketika ia jalan-jalan di desa,
kadang-kadang ia melihat beberapa orang pemuda. Mereka tampak sibuk
mengangkuti air dengan ember, dan hal itu mengingatkannya pada masa
dimana ia pernah juga menjadi pengangkut ember yang sama seperti
mereka….
END

إرسال تعليق